Pengembangan dan Aplikasi Teknologi Nuklir di Indonesia Saat Ini dan Proyeksinya untuk Kemandirian Nasional Masa Depan

  1. Pendahuluan

Pada peresmian reaktor riset nuklir pertama di Indonesia tahun 1964, Presiden Soekarno mengatakan “Negara yang ingin maju harus menguasai antariksa dan nuklir”. Pernyataan tersebut menjadi awal bagi rencana penggunaan teknologi nuklir di Indonesia. Hal ini menandakan bahwa sejak awal Indonesia memang telah berencana untuk menggunakan jenis teknologi tersebut. Pada faktanya teknologi nuklir memiliki potensi untuk memberikan umat manusia harapan akan masa depan yang lebih sejahtera. Tidak hanya sebagai sumber energi bom atom, energi nuklir juga dapat difungsikan sebagai teknologi di bidang pertanian, kesehatan, industri, dan lain sebagainya.

Konten ini juga dapat diakses secara grafis via twitter, instagram, atau youtube (bahasa Indonesia)

2. Sejarah Pengembangan Teknologi Nuklir

Meskipun telah diteliti sejak abad 19, pengembangan teknologi nuklir baru dimulai di tahun 1932, ketika Ernest Rutherford dan muridnya James Chadwick, pada Gambar 1, melakukan penelitian yang serius terhadap atom. Beragam eksperimen oleh para peneliti lain pun dilakukan setelahnya.

Gambar 1. Ernest Rutherford (kiri) dan James Chadwick (kanan)

Menjelang tahun 1940-an, reaktor nuklir pertama berhasil diciptakan di Amerika. Hal ini kemudian diikuti dengan pembangunan reaktor-reaktor nuklir lainnya. Perkembangan ini berujung fatal. Satu bulan setelah uji coba pertama peledakan fisi nuklir, tragedi peledakan bom atom pertama di Hiroshima terjadi, menyusul di Nagasaki tiga hari kemudian.

Gambar 2. PLTN Obnisnk (kiri) dan Skema Reaktornya Tipe RBMK (Reaktor Bolshoy Moshchnosti Kanalniy) (kanan)

Alhasil, setelah Perang Dunia Kedua, muncul berbagai tuntutan untuk mengalihfungsikan teknologi nuklir ke arah yang lebih positif, sehingga beberapa negara mulai mengunakan teknologi tersebut untuk kepentingan masyarakat. Diawali oleh Uni Soviet yang mendirikan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Obninsk berkapasitas 6 Megawatt (MW), pada Gambar 2.

Kemudian disusul oleh Amerika pada 17 Juli 1955, dengan pembangunan reaktor BORAX (Boiling Water Reactor Experiment) III, awal mula dari reaktor air didih lanjut, di kota Arco, Idaho. BORAX III, pada Gambar 3, yang berkapasitas 2000 KW tersebut digunakan untuk mengalirkan listrik bagi seisi kota Arco di Idaho. Hal ini membuat BORAX III menjadi reaktor pertama di dunia yang berhasil mengalirkan listrik bagi seisi kota.

Gambar 3. Reaktor BORAX III, Arco, Idaho

Setelah itu, pada tahun 1956 PLTN komersial pertama di dunia bernama Calder Hall di Windscale, Inggris, pada Gambar 4, turut dibangun. PLTN tersebut mulai beroperasi pada tahun 1956 dengan kapasitas awal 50 MW per reaktor, dengan total keseluruhan 200 MW dari 4 reaktor berjenis Magnox. Reaktor Magnox pada Gambar 5 sendiri adalah reaktor berpendingin gas CO2 dengan moderator grafit. Reaktor ini dirancang oleh Inggris. Disebut magnox karena bahan kelongsongnya terbuat dari magnesium.

Gambar 4. Dua Dari Empat Reaktor Magnox di PLTN Calder Hall
Gambar 5. Skema Reaktor Magnox

Sejak saat itu, perkembangan teknologi nuklir di dunia meningkat dengan sangat cepat. Kapasitas pembangkit listrik tenaga nuklir di dunia mengalami peningkatan drastis. Dari 1 Giga Watt di tahun 1960, naik menjadi 100 Giga Watt di akhir tahun 1970-an dan berpuncak di akhir 1980-an dengan kapasitas 300 Giga Watt. Hari ini, sekitar 10% listrik di dunia dihasilkan dari tenaga nuklir, atau sekitar lebih dari 2500 miliar kWh setiap tahun. Selain kegunaan di bidang kelistrikan, energi nuklir juga telah difungsikan dalam berbagai bidang. Sekitar 440 reaktor nuklir dengan kapasitas produksi total sekitar 377.000 Mega Watt (MWe) telah beroperasi di 30 negara. Sedangkan lebih dari 60 reaktor lagi sedang dibangun dan 150 reaktor sedang dalam tahap perencanaan.

3. Pengembangan dan Aplikasi Teknologi Nuklir di Dunia Saat Ini

Beragam reaksi nuklir telah berhasil diamati oleh para ilmuwan, tetapi secara umum dapat digolongkan menjadi empat tipe saja yaitu, reaksi fisi, reaksi fusi, peluruhan radioaktif, dan transmutasi inti (atau transmutasi nuklir). Namun, untuk menghasilkan energi nuklir, hanya reaksi fusi dan fisi pada Gambar 6 yang dapat digunakan. Reaksi fusi dapat dimanfaatkan melalui fusi nuklir terkontrol, meskipun belum berhasil disempurnakan. Reaksi fisi sendiri dapat dikontrol menggunakan suatu alat yang disebut reaktor. Sampai hari ini, hanya reaksi fisi yang umum digunakan.

Gambar 6. Diagram Reaksi Fisi (kiri) dan Reaksi Fusi (kanan)

Reaktor sendiri adalah suatu alat untuk mengendalikan reaksi fisi berantai sekaligus menjaga kesinambungan reaksi itu. Sebagai medium utama yang digunakan dalam menghasilkan energi nuklir, reaktor telah dikembangkan sejak tahun 1940-an. Berdasarkan kegunaannya, reaktor terbagi menjadi dua jenis, yakni:

1) Reaktor daya, atau yang biasa disebut sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) merupakan reaktor yang digunakan untuk menghasilkan daya listrik. Pada reaktor daya, yang dimanfaatkan adalah uap yang bersuhu dan bertekanan tinggi yang dihasilkan oleh reaksi fisi untuk memutar turbin. Turbin menggerakkan generator yang menghasilkan listrik. Sedangkan neutron yang dihasilkan sebagian diserap oleh elemen kendali, dan sebagian diubah kembali menjadi neutrxon untuk melakukan reaksi berantai.

Gambar 7. Pebble Bed Reactor, Contoh Reaktor Thermal

Setidaknya terdapat dua jenis reaktor daya (yang umum digunakan), yakni:

  • Reaktor Thermal: Reaktor ini menggunakan moderator neutron untuk melambatkan neutron sehingga dapat dihasilkan reaksi fisi selanjutnya. Pada Gambar 7, neutron yang dihasilkan dari reaksi fisi mempunyai energi yang tinggi atau dalam keadaan cepat, dan harus diturunkan energinya atau dilambatkan oleh moderator sehingga dapat menjamin kelangsungan reaksi berantai.
  • Reaktor Cepat: Pada Gambar 8, reaktor ini bisa menjaga kesinambungan reaksi berantai tanpa memerlukan moderator neutron. Karena reaktor cepat menggunakan jenis bahan bakar yang berbeda dengan reaktor thermal, neutron yang dihasilkan di reaktor cepat tidak perlu dilambatkan guna menjamin reaksi fisi tetap berlangsung.
Gambar 8. EBR II, Contoh Reaktor Cepat

2) Reaktor riset, adalah reaktor nuklir yang kegunaan utamanya untuk penelitian, pelatihan dan pendidikan, dan bukan digunakan untuk menghasilkan energi listrik yang besar. Jenis reaktor riset umumnya berbentuk pool-type pada Gambar 9, tank-type, pool-in-tank type, dan TRIGA. Reaktor-reaktor ini menghasilkan berbagai hal (terutama neutron) yang berguna untuk berbagai bidang, termasuk fisika, kimia, kedokteran, industri, forensik dan sebagainya, termasuk uji material dan latihan. Reaktor riset juga digunakan dalam memproduksi radioisotop. Radioisotop adalah suatu atom yang memiliki energi berlebih sehingga membuatnya tidak stabil.

Gambar 9. Skema Umum Reaktor Pool-Type

Beberapa fungsi dari radioisotop adalah:

  • Bidang kesehatan: Radioisotop dapat digunakan untuk terapi radiasi, seperti terapi kelainan tiroid dan terapi polisitemia vera dan leukimia. Selain itu, radioisotop juga dapat digunakan untuk diagnosis fungsi dan anatomi organ tubuh, serta studi sirkulasi dan kehilangan darah.
  • Bidang pertanian: Radioisotop dapat digunakan sebagai perunut dalam penelitian efisiensi pemupukan tanaman. Teknik perunut dengan radioisotop akan memberikan cara pemupukan yang tepat dan hemat.
  • Bidang hidrologi: Radioisotop dapat digunakan untuk mengukur kecepatan laju dan debit air sungai, air dalam tanah dan rembesan, kebocoran dam serta pipa penyalur yang terbenam dalam tanah, lokasi dumping, asal/pola aliran sedimen dan laju pengendapan.
  • Bidang industri: Radioisotop dapat digunakan dalam teknik radiografi. Teknik radiografi merupakan teknik yang sering dipakai terutama pada tahap-tahap konstruksi. Pada sektor industri minyak bumi, teknik ini digunakan dalam pengujian kualitas las pada waktu pemasangan pipa minyak/gas serta instalasi kilang minyak. Selain bagian-bagian konstruksi besi yang dianggap kritis, teknik ini digunakan juga pada uji kualitas las dari ketel uap tekanan tinggi serta uji terhadap keretakan pada konstruksi beton.

4. Awal Mula Pengembangan Teknologi Nuklir di Indonesia Hingga Saat Ini

Di Indonesia sendiri, program nuklir pertama kali direncanakan pada tahun 1954 saat pemerintahan Soekarno membentuk Panitia Negara untuk Penyelidikan Radioaktivitet. Panitia Negara ini bertugas untuk menyelidiki kemungkinan jatuhan radioaktif di Samudra Atlantik.

Dengan memperhatikan perkembangan pendayagunaan dan pemanfaatan tenaga atom bagi kesejahteraan masyarakat, pada tanggal 5 Desember 1958 pemerintah mengembangkan panitia negara tersebut menjadi Dewan Tenaga Atom (DTA) dan Lembaga Tenaga Atom (LTA). LTA kemudian disempurnakan menjadi Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) di tahun 1965.

Gambar 10. Reaktor TRIGA Mark II Bandung

Pada perkembangan berikutnya, untuk lebih meningkatkan penguasaan di bidang iptek nuklir, beberapa reaktor dibangun, diantaranya:

1) Pusat Penelitian Tenaga Nuklir, Bandung, Reaktor Triga Mark II, kapasitas 2 MW Tahun 1965. TRIGA merupakan singkatan dari Training, Research, Isotopes, General Atomics. Reaktor penelitian nuklir pada Gambar 10 ini diciptakan oleh perusahaan swasta General Atomics, yang berbasis di Amerika.

2) Reaktor Penelitian Nuklir Kartini, Daerah Istimewa Yogyakarta, Reaktor TRIGA Mark II, kapasitas 100 kW beroperasi sejak 1979.

3) Reaktor Penelitian Nuklir Serpong, Banten, MPR RSG-GA Siwabessy, kapasitas 30 MW diresmikan tahun 1987. Reaktor penelitian nuklir pada Gambar 11 ini difokuskan untuk memproduksi produk kesehatan berupa radioisotop.

Gambar 11. Reaktor Nuklir GA Siwabessy Serpong
Gambar 12. Skema Iradiator Gamma Merah Putih

Pada dasarnya, pengembangan nuklir di Indonesia dibagi menjadi dua sektor, yaitu sektor energi dan non-energi. Pemanfaatan teknologi non-energi di Indonesia sudah berkembang cukup maju. Berikut beberapa penerapannya:

1) Pendidikan: Untuk lebih meningkatkan penguasaan di bidang iptek nuklir, Indonesia telah membangun beberapa fasilitas penelitian, pengembangan, dan rekayasa (litbangyasa) yang tersebar di berbagai kawasan, antara lain Kawasan Nuklir Bandung (1965), Kawasan Nuklir Pasar Jumat, Jakarta (1966), Kawasan Nuklir Yogyakarta (1967), dan Kawasan Nuklir Serpong (1987).

2) Pertanian: Pada pemanfaatannya di bidang pangan, radiasi nuklir digunakan untuk mengawetkan makanan, selain dipakai di sektor pertanian dan peternakan. Teknologi yang bernama iradiator gamma tersebut dapat membuat produk pertanian lebih tahan lama dan tidak cepat busuk. Memasuki tahun 2012, Indonesia telah berhasil menghasilkan 20 varietas unggul padi, 6 varietas unggul kedelai, 1 varietas unggul kacang hijau, dan 1 varietas kapas. Varietas tersebut tercipta berkat pengaplikasian tenaga nuklir berupa iradiator gamma. Indonesia sendiri telah mengembangkan teknologi yang dinamai Iradiator Gamma Merah Putih (IGPM), pada Gambar 12, yang diproduksi oleh BATAN Serpong pada 2017. Dengan tingkat kandungan dalam negeri sebesar 85%, teknologi tersebut telah melayani 75 perusahaan dari berbagai jenis produk.

3) Kesehatan: Pada tahun 1989 instalasi radioisotop dan radiofarmaka diresmikan dan menandai awal mula penggunaan nuklir pada bidang kesehatan di Indonesia. Sampai hari ini, pengaplikasian energi nuklir di Indonesia sebesar 30% dalam bentuk produksi obat-obatan dan keperluan diagnostik. Radiofarmaka sejauh ini telah dimaksimalkan penggunaannya dalam diagnostik dan terapi, terutama dalam penanganan penyakit kanker. Melalui kerjasama BATAN dan PT. Kimia Farma, Indonesia telah berhasil memproduksi beberapa peralatan radiofarmaka, meskipun sekitar 90% radioisotop dan radiofarmaka masih diimpor.

5. Proyeksi Pengembangan Teknologi Nuklir di Indonesia Untuk Kemandirian Nasional Masa Depan

Disebut-sebut, cadangan Thorium di Indonesia, pada Gambar 13, mencapai 70.000 ton, atau 4 kali lebih banyak daripada cadangan uraniumnya. Ini berarti Indonesia memiliki cadangan Thorium untuk 1000 tahun. Thorium sendiri merupakan bahan dasar energi nuklir yang bersih, tidak dapat dijadikan senjata, dan tidak mengeluarkan emisi apapun serta sangat murah. Dengan demikian, potensi SDA untuk membangun PLTN di Indonesia sangatlah berlimpah. Berdasarkan hasil pemetaan BATAN, telah terdapat potensi 74 ribu Ton Uranium dan 130 ribu Ton Thorium. Pada Gambar 14, beberapa wilayah yang mengandung unsur tersebut adalah Bangka Belitung, Kalan di Kalimantan, Sulawesi, Sumatra dan berbagai daerah lainnya di Indonesia.

Gambar 13. Simbol Thorium (kiri) dan Sampelnya (kanan)

Dari sisi pengurangan emisi karbon sendiri, penggunaan satu pembangkit nuklir ini bisa mengurangi emisi Karbon Dioksida sebesar 9 juta Ton per tahun atau setara pengurangan emisi dari 2 juta mobil. Sedangkan dari sisi lapangan kerja, menurut Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional, Bambang Brodjonegoro, pembangunan dua reaktor PLTN 3,2 Giga Watt bisa menyerap tenaga kerja hingga 25.000 orang.

Gambar 14. Peta Sebaran Uranium & Thorium di Indonesia (BATAN, 2017)

Pada aspek perekonomian negara, bila membangun PLTN, Indonesia berpotensi mengekspor listrik ke Singapura, terutama ketika kontrak impor gas Singapura dari Indonesia berakhir sekitar 2022/2023 dan Singapura berkomitmen untuk menggunakan sumber energi bersih.

Tabel 1. Daftar Beberapa Proyek Prioritas Strategis RPJMN 2020-2024
(yang bergaris kuning merupakan komitmen pemerintah untuk mengembangkan sektor EBT)

Di sisi ketahanan nasional, tidak bisa dipungkiri bahwa senjata nuklir akan membuat suatu negara semakin kuat dalam bidang pertahanan dan militer, sehingga dapat mendorong Indonesia untuk semakin dipertimbangkan kemampuan alutsistanya secara internasional.

Hingga tahun 2011 Indonesia masih berupaya mendapatkan dukungan publik, walaupun sudah dianggap kalangan internasional bahwa Indonesia sudah cukup mampu dan sudah saatnya menggunakan teknologi nuklir, khususnya untuk pembangkitan listrik. Dalam bidang energi, Kementerian Riset dan Teknologi pernah mengungkapkan rencananya untuk membangun PLTN demi memenuhi kebutuhan listrik yang per 2025 diperkirakan mencapai 60.000 MW. Dalam RPJMN 2020-2024, pada Tabel 1, pemerintah telah menetapkan untuk mengejar pengaplikasian Energi Baru Terbarukan (EBT) di dalam negeri sebesar 31% pada tahun 2050, sedangkan per 2019 baru tercapai 9,15%. Jadi untuk mencapai target ini, dibutuhkan pembangkit listrik berskala besar seperti PLTN.

Tahun 2020, DPR telah mengusulkan Rancangan Undang-Undang EBT yang salah satu kebijakannya memuat usaha untuk memudahkan investasi bagi perusahaan multinasional yang bergerak di bidang tenaga nuklir. Seperti pada ayat 1 yang berbunyi ”pengusahaan ketenaganukliran diselenggarakan oleh badan pelaksana. Badan pelaksana berwenang memberikan izin kepada BUMN, koperasi, badan swasta, dan/atau badan lain untuk melakukan kegiatan usaha ketenaganukliran.” Dengan demikian, maka Indonesia akhirnya akan dapat mencapai kemajuan di berbagai bidang, khususnya di bidang sumber daya manusia, IPTEK, serta kemandirian energi.

Leave a Reply